Manusia, Sumber Daya Tersisih Pada Era Disrupsi Industri?

Pendahuluan

We didn’t do anything wrong, but then we lost”, ungkap Stephen Elop, CEO Nokia sebelum akhirnya menyerahkan divisi handset Nokia kepada Microsoft. Sebuah kekalahan yang terjadi tanpa disadari. Inilah disrupsi, kondisi dimana ketika sebuah perubahan fundamental tidak diketahui bahwa itu tengah terjadi. Padahal semua berpikir bahwa mereka telah melakukan cara-cara terbaik. Speed, Surprise, dan Sudden shift telah menjadi karakter perubahan ini (Kasali, 2017). Oleh karena itu, suka atau tidak dunia hari ini telah memasuki era disrupsi ini.

Disrupsi telah menjangkau seluruh aspek kehidupan kita hari ini. Salah satunya adalah dunia industri, aspek kehidupan yang berpengaruh terhadap peradaban manusia. Sejarah membuktikan bagaimana revolusi industri pertama merubah peradaban manusia  dari melakukan produksi dengan tenaga manusia menjadi dengan tenaga mesin. Hal ini berlanjut menjadi produksi yang mampu dilakukan secara massal dengan dukungan energi listrik dan lini produksi. Begitupun ketika aplikasi elektronik serta revolusi digital dalam rangka otomasi lini produksi juga mengubah bagaimana aktivitas produksi (Hamidi dkk., 2018). Hingga memasuki era disrupsi ini, Internet of Things (IoT) akan mengubah dunia industri hari ini. Hal yang kemudian dikenal dengan Revolusi Industri IV atau era Industry 4.0.

Teknologi menjadi tema utama Revolusi Industri 4.0 baik big data, cloud computing, cyber security, automation, cyber physical system, maupun smart factory. Akan tetapi dalam beberapa metode, tema ini tidak melibatkan skill dari tenaga kerja industri saat ini sebagai bagian dari pemetaan (Joseph dan Schaefer, 2018). Tentunya hal ini memunculkan beberapa pertanyaan, apakah peralihan revolusi industri ke-empat akan menjadi disrupsi terhadap lapangan pekerjaan yang ada hari ini. Dimana tidak hanya menghilangkan lapangan pekerjaan, akan tetapi juga menjadi disrupsi bagi peran manusia dalam dunia industri. Atau justru peralihan ini meningkatkan peran manusia untuk bisa bersaing dan bekerja dengan lebih baik.

Sumber Daya Manusia dalam Era Disrupsi Industri 4.0

Menurut Hirsch-Kreinsen, Revolusi Industri 4.0 merupakan sebuah disruptif, inovasi proses perubahan struktur. Hal ini berarti bahwa proses transformasi ini tidak hanya berdampak pada pekerjaan individu, aktivitas dan kualitifikasi individual, akan tetapi juga memiliki konsekuensi terhadap keseluruhan organisasi dan struktur sosial dari sistem produksi. Dalam perluasan implementasinya, landscape kerja dalam produksi industri saat ini akan berubah dalam jangka panjang, tidak hanya internal akan tetapi juga proses perubahan inter-organisasi, karena keseluruhan struktur dari rantai nilai akan berubah (Stefan dkk., 2018)

Pada awalnya Revolusi Industri 4.0 bermaksud menghilangkan perbedaaan antara fisik, digital dan lingkungan biologis. Oleh karena itu ia bertujuan mengintegrasikan Internet of Thing (IoT), Cyber Physical Systems (CPS), Artificial Intelligence (IA), cloud computing, robotika berdasarkan sistem dan additive manufacturing. Berdasarkan karakter dan tujuan ini, lalu dimanakah peran manusia?

Revolusi Industri 4.0 memiliki perspektif yang berpusat pada manusia. Dimana potensi besar Industri 4.0 timbul dari interaksi manusia-mesin yang ditingkatkan berdasarkan pada generasi baru kolaborasi robot industri, cepat belajar dan canggih, sistem bantuan berbasis Cyber Physical System (Schneider, 2018). Keterampilan dan kualifikasi tenaga kerja menjadi kunci sukses pabrik inovatif industri 4.0 (Benesova dan Jiri, 2017). Berdasarkan hal ini maka kolaborasi dari interasi manusia-mesin lah yang menjadikan sistem menjadi lebih baik dibandingkan sistem parsial yang hanya terfokus pada manusia atau mesin saja. Ansari, Erol dan Sihn (2018) mengistilahkan interaksi mesin-manusia dengan konsep mutual learning, yakni proses dua arah yang melibatkan pertukaran timbal balik, dependen, tindakan atau pengaruh dalam kolaborasi manusia dan mesin, yang menciptakan makna atau konsep baru, memperkaya yang sudah ada atau meningkatkan keterampilan dan kemampuan dalam hubungan dengan masing-masing kelompok pembelajar.

Menatap Masa Depan Peran Sumber Daya Manusia

World Economic Forum (WE 2016) memprediksikan bahwa pada tahun 2020 tenaga kerja masa depan diharapkan memiliki kemampuan kognitif (52%), keterampilan kesisteman (42%), dan keterampilan pemecahan permasalahan kompleks (40%). Selain itu, pekerja dituntut memiliki kemampuan dasar dalam bidang informasi dan teknologi (TIK). Hal ini mengikuti hasil dari Jobs Report (2016), dimana pada tahun 2015 terdapat sepuluh kemampuan penting yang dibutuhkan tenaga kerja dengan urutan (1) complex problem solving, (2) coordinating with others, (3) people management, (4) critical thinking, (5) negotiation, (6) quality control, (7) service orientation, (8) judgment and decision making, (9) active listening, dan (10) creativity.

Berdasarkan kebutuhan masa depan ini, maka apakah kemampuan dan keterampilan ini menyebabkan pekerja hari ini tereliminasi karena kebutuhan untuk mendapatkan tenaga kerja dengan kualifikasi tersebut?

Studi oleh Berger dan Frey (2015) menunjukkan bahwa pekerja yang sedang dan telah terlibat dalam pekerjaan rutin memiliki performa yang justru semakin baik dalam melakukan pekerjaan analitik dan interaktif ketika perusahaan mereka mengalami digitalisasi dengan cepat. Hal ini berarti tenaga kerja yang sudah ada justru memiliki potensi yang lebih baik dibanding tenaga yang baru akan direkrut ketika mereka berhasil melakukan transformasi kemampuan. Karena pengalaman yang telah mereka miliki justru akan memaksimalkan potensi interaksi manusia-mesin dalam Industri 4.0.

Selain itu, penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa perluasan otomatisasi ini akan mengurangi kebutuhan terhadap jenis pekerjaan dengan keterampilan rendah (low-skill) maupun pekerjaan rutin-intensif. Otomatisasi justru akan meningkatkan kebutuhan terhadap pekerja dengan keterampilan tinggi (high-skill) dan baru. Atau menurut Galaske dkk. (2018), beralih dari peran sebagai operator ke konduktor dan koordinator. Dengan otomatisasi yang meningkat, para pekerja perlu lebih fokus pada aktivitas yang tidak mudah dicapai oleh mesin, seperti pekerjaan yang membutuhkan kemampuan kognitif. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan karakter dan kebutuhan tenaga kerja di masa depan justru memanusiakan peran dari tenaga kerja itu sendiri. Tenaga kerja tidak lagi berada pada lingkungan kerja yang beresiko terhadap aspek kemanusiaannya, baik dari resiko fisik maupun psikis.

Menuju Kesiapan Sumber Daya Manusia Pada Era Disrupsi Industri

Berdasarkan tantangan dan peluang era disrupsi industri ini, perlu dilakukan re-skill pada sumber daya manusia hari ini agar memenuhi persyaratan era digital ekonomi. Sumber daya manusia yang merupakan generasi saat ini, perlu dididik sesuai dengan kebutuhan dan prasyarat pekerjaan dan keterampilan masa depan. Pendidikan ini tidak hanya peran dari sektor formil saja, akan tetapi juga peran dari sektor informil serta seluruh lingkungan hari ini. Terdapat beberapa langkah yang dapat dilakukan :

  1. Inisiatif Strategi Pengelolaan Sumber Daya Manusia

Mengapa negara industri seperti Jerman menjadi yang terdepan dalam menghadapi revolusi industri 4.0? Jawabannya bukan hanya karena fakta kesiapan (readiness) disatu sisi saja, akan tetapi juga karena Jerman merupakan negara yang pertama kali mengadopsi dan membuka pusat pendidikan dan pelatihan di seluruh negeri mencakup pendidikan pra usia-18, pendidikan tinggi dan pelatihan vokasi (Joseph dan Schaefer, 2018). Oleh karena itu, kesiapan dari sisi inisiatif strategi pengelolaan sumber daya manusia merupakan hal yang penting bagi negara yang akan menghadapi era ini. Aspek ini juga menunjang kesiapan sumber daya manusia dalam strategi jangka panjang maupun jangka pendek.

2. Program Reskill, Reedukasi dan Retraining

Tantangan lain  menciptakan tenaga kerja di masa depan tidak hanya untuk bisa menarik, merekrut, dan mengembangkan bakat baru yang dibutuhkan, akan tetapi juga untuk mengubah tenaga kerja saat ini melalui program pelatihan serta merancang ulang proses kerja untuk mengurangi ketidakcocokan keterampilan antara pekerjaan dan tenaga kerja. Edukasi, Re-edukasi, dan Retraining akan sangat penting untuk pekerjaan yang butuh mempertahankan kecepatan dengan perkembangan teknologi. Selain itu, pendidikan dan pelatihan harus memenuhi berbagai kemampuan kognitif, tingkat kreativitas, dan keterampilan lain yang dibutuhkan.

3. Kemitraan Institusi Pendidikan dan Industri

Menurut Motyl, dkk. (2017), pelatihan dan pengembangan profesional berkelanjutan merupakan faktor kunci penting lainnya untuk mencapai tujuan Industri 4.0. karena hal ini secara signifikan akan mengubah profil pekerjaan dan keterampilan pekerja. Sebagai akibatnya, kemitraan antara bisnis/ pabrik dan institusi pendidikan tinggi akan menjadi lebih penting di masa depan. Oleh karena itu, butuh adanya keterbukaan akses ke studi sains dan teknik, serta porsi yang lebih banyak pada transfer knowledge dan aspek penilaian keterampilan.

Menghasilkan pengetahuan melalui penelitian, menyebarkan pengetahuan melalui pendidikan serta menerapkan pengetahuan melalui inovasi (“segitiga pengetahuan”) adalah pendekatan yang tepat dalam kolaborasi antara industri dan institusi pendidikan. Oleh karena itu, langkah-langkah seperti membuka akses pelatihan dalam lingkungan manufaktur yang nyata dan memanfaatkan praktik industri melalui adopsi pengetahuan dan teknologi manufaktur baru menjadi penting. Selain itu perlu didukung juga dengan peningkatan inovasi di bidang manufaktur melalui peningkatan kemampuan sumber daya masa depan.

Kesimpulan

Disrupsi telah menjangkau seluruh aspek kehidupan hari ini, tidak terkecuali industri. Perubahan tanpa disadari ini membawa industri menuju Revolusi Industri 4.0. Peralihan ini berdampak terhadap keseluruhan organisasi dan struktur sosial dari sistem produksi. Pada faktanya, Revolusi Industri 4.0 tidak akan menghilangkan peran vital sumber daya manusia. Justru potensi besar Industri 4.0 lahir dari interaksi manusia-mesin.

DAFTAR PUSTAKA

Ansari, F., Erol, S. and Sihn, W. (2018) ‘Rethinking Human-Machine Learning in Industry 4 . 0 : How Does the Paradigm Shift Treat the Role of Human Learning?’, Procedia Manufacturing. Elsevier B.V., 23(2017), pp. 117–122. doi: 10.1016/j.promfg.2018.04.003.

Benesova, A. and Jiri, T. (2017) ‘Requirements for Education and Qualification of People in Industry’, 11(June), pp. 2195–2202. doi: 10.1016/j.promfg.2017.07.366.

Berger, T. and Frey, C. B. (2015) ‘Industrial Renewal in the 21st Century : Evidence from US Cities Industrial Renewal in the 21st Century : Evidence from US Cities’, 3404(November). doi: 10.1080/00343404.2015.1100288.

Galaske, N., Arndt, A., Friedrich, H. and Bettenhausen, K. D. (2018) ‘Workforce Management 4.0 – Assessment of Human Factors Readiness Towards Digital Manufacturing’, 606. doi: 10.1007/978-3-319-60474-9.

Hamidi, S. R., Aziz, A. A., Shuhidan, S. M., Aziz, A. A. and Mokhsin, M. (2018) ‘SMEs maturity model assessment of IR4.0 digital transformation’, Advances in Intelligent Systems and Computing, 739, pp. 721–732. doi: 10.1007/978-981-10-8612-0_75.

Joseph, F. and Schaefer, D. (2018) ‘Industry 4 . 0 : Educating the Workforce of Tomorrow’.

Motyl, B., Baronio, G., Uberti, S., Speranza, D. and Filippi, S. (2017) ‘How will change the future engineers ’ skills in the Industry 4 . 0 framework ? A questionnaire survey’, Procedia Manufacturing. The Author(s), 11(June), pp. 1501–1509. doi: 10.1016/j.promfg.2017.07.282.

Schneider, P. (2018) ‘Managerial Challenges of Industry 4.0: an empirically backed research agenda for a nascent field’, Review of Managerial Science. Springer Berlin Heidelberg. doi: 10.1007/s11846-018-0283-2.

Stefan, L., Thom, W., Dominik, L., Dieter, K. and Bernd, K. (2018) ‘Concept for an evolutionary maturity based Industrie 4.0 migration model’, Procedia CIRP. Elsevier B.V., 72, pp. 404–409. doi: 10.1016/j.procir.2018.03.155.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.